ISTIMEWA
SMARTNEWS.ID – Fakultas Kedokteran Universitas Lampung (FK Unila), mengajak para siswa SMPN 30 Bandar Lampung menyadari dampak negatif ketergantungan penggunaan gawai.
Ajakan tersebut disampikan pengajar dari FK Unila Dr. dr. Larasati, saat melakukan sosialisasi terkait hal tersebut di sekolah setempat pada Rabu, 6 Agustus 2025.
Menurut dia, seseorang yang ketergantungan gawai atau fenomena nomophobia akan menjadi khawatir atau cemas, sehingga dapat mengganggu kesehatan.
“Kecemasan akibat jauh dari telepon genggam, kini menjadi perhatian serius di kalangan pendidikan. Ini perlu disadari kita semua,” ujar dia di hadapan siswa.

Nomophobia bukan sekadar ketakutan biasa, kata dia, melainkan gangguan psikologis yang dapat memengaruhi konsentrasi belajar dan interaksi sosial.
“Hal ini bisa membuat siswa gelisah, sulit fokus, dan lebih suka berinteraksi di dunia maya daripada dunia nyata. Ini mengganggu proses belajar dan pertemanan di sekolah,” katanya.
Ia yang sebelumnya telah mensurvei siswa sekolah setempat, lebih dari 50 persen siswa mengaku pernah merasa cemas saat baterai ponsel mereka habis atau saat tidak bisa mengakses internet.
“Fakta ini menunjukkan betapa krusialnya penanganan masalah nomophobia di kalangan remaja,” ujar wanita ramah yang selalu senyum itu.
Sementara itu, Kepala SMPN 30 Bandar Lampung Azam Salimi, S.Ag, mengapresiasi sosialisasi yang dilakukan tim dari FK Unila.
Kegiatan pengabdian kepada masyarakat unggulan Unila, sangat penting dan bermanfaat bagi siswa, sehingga ke depan siswa akan lebih bijak dalam menggunakan teknologi.
“Penggunakan teknologi tidak hanya sebagai alat hiburan, tetapi juga sebagai sarana penunjang pendidikan,” katanya.
Sebagai tindak lanjut, atas fenomena nomophobia di kalangan pelajar, pihaknya berencana menerapkan sejumlah program pendukung guna mengatasi hal tersebut. Adapun rencananya, yakni zona bebas gawai (gadget-free zones).
Sekolah menerapkan kebijakan di mana area tertentu di sekolah, seperti kantin, perpustakaan, atau ruang kelas, ditetapkan sebagai zona bebas gawai selama jam pelajaran atau waktu istirahat.
Kemudian melakukan pendekatan konseling individual. Tim bimbingan dan konseling akan memberikan pendampingan khusus bagi siswa yang menunjukkan gejala nomophobia berat, membantu mereka mengembangkan strategi koping yang lebih baik.
Selanjutnya melakukan kemitraan dengan orangtua siswa. “Sekolah akan bekerja sama dengan orangtua melalui pertemuan rutin untuk memastikan pendekatan yang konsisten diterapkan di sekolah maupun di rumah,” ujar dia.
Melalui sosialisasi, pihaknya berharap dapat menciptakan lingkungan belajar lebih fokus, interaktif, dan sehat secara mental bagi seluruh siswanya. “Alhamdulillah sosialisasi diikuti siswa kelas 7-9 membuat siswa akan lebih sadar akan dampak negative gawai,” harapnya. (***)