DOK
SMARTNEWS.ID – Pelayanan medis di Rumah Sakit Umum Daerah Abdoel Moeloek (RSUDAM) Bandar Lampung kembali menjadi sorotan tajam setelah wafatnya bayi berusia 2 bulan, Alesha Erina Putri.
Kepala Ombudsman RI Perwakilan Provinsi Lampung, Nur Rakhman Yusuf, menyatakan bahwa peristiwa ini mengindikasikan potensi maladministrasi berupa penyimpangan prosedur, kelalaian dalam pelayanan, dan dugaan penyalahgunaan wewenang oleh oknum tenaga medis.
“Ombudsman berkomitmen penuh untuk mengawasi penyelesaian kasus ini demi memastikan pelayanan publik di sektor kesehatan berjalan sesuai prinsip akuntabilitas, transparansi, dan keadilan,” kata Nur Rakhman saat dihubungi dari Bandar Lampung, Kamis, 21 Agustus 2025.
Peristiwa tragis yang menimpa bayi Alesha Erina Putri, putri pertama dari pasangan Sandi Saputra (27) dan Nida Usofie (23) asal Kalianda, Lampung Selatan, menguak sejumlah fakta mengejutkan.
Sandi Saputra, ayah pasien, mengungkapkan kekecewaan mendalam atas pelayanan yang lambat dan perawatan yang memicu kekecewaan.
Bayi Alesha, yang didiagnosis hisprung, dirujuk ke RSUDAM pada 9 Juli 2025 dan menjalani rawat inap pada 18 Agustus 2025 di kelas III, meskipun BPJS pasien adalah kelas II, dengan alasan RSUDAM telah menerapkan ruangan tanpa kelas.
Dugaan maladministrasi semakin menguat dengan adanya tawaran opsi operasi dari seorang dokter berinisial BR. Dokter tersebut menawarkan dua opsi, di mana opsi kedua melibatkan penggunaan alat medis yang tidak ditanggung BPJS.
“Saat berkonsultasi dengan dokter RSUDAM tersebut menyarankan dua opsi,” ujar Sandi dalam keterangannya.
Opsi pertama melakukan operasi pemotongan usus dengan membuat kantung stoma agar bayi tersebut bisa buang kotoran lewat kantung stoma. Dan opsi pertama ini tidak cukup hanya satu kali operasi.
Kemudian, opsi kedua yang ditawarkan dokter itu yakni dengan satu kali operasi menggunakan alat medis yang tidak di-cover BPJS.
Ironisnya, proses jual beli alat senilai Rp8.000.000 tersebut tidak dilakukan melalui pihak RSUDAM, melainkan langsung ditransfer ke rekening pribadi dr. BR. Sandi, demi mendapatkan pelayanan terbaik untuk anaknya, memilih opsi kedua.
Namun, dr. BR tidak memberitahukan jenis alat yang dimaksudkan hingga transfer dana dilakukan. Ia juga mengeluhkan respons dokter yang lambat setelah kondisi anaknya memburuk, berbeda dengan respons cepat saat menyuruh membeli alat.
“Waktu nyuruh beli alatnya WA terus, komunikasi intens. Tapi pas kondisi anak saya terus memburuk yang bersangkutan balas WA-nya tidak seperti saat nyuruh beli alat yang harganya Rp8.000.000 tadi. Malam di-WA baru dibalas paginya setelah anak saya meninggal,” sesal Sandi.
Keluarga pasien pun mengungkapkan dugaan kelalaian dalam penanganan pascaoperasi. Menurut kerabat pasien, Elda, kondisi bayi tidak ditangani dengan baik meskipun terus memburuk.
Ada momen di mana keluarga harus mencari perawat karena selang di hidung bayi bergeser, namun jawaban perawat adalah menunggu karena sedang menangani pasien lain, dan mengaku keteteran karena hanya dua perawat untuk 32 pasien.
Selain itu, Elda mengeluhkan bayi yang dibiarkan dengan popok berlumuran darah bekas operasi dan tidak diganti.
“Seharusnya kan bayi itu dilihat bajunya basah, ada bercak darah bekas operasi, diganti kek, tapi ini nggak, dibiarkan saja bayi dengan popok yang berlumuran darah bekas operasi tadi,” kata Elda.
Dokter bahkan tidak lagi melihat kondisi bayi secara langsung pascaoperasi, dengan alasan memantau “dari balik layar”.
Keterangan dokter bahwa kondisi bayi baik-baik saja pascaoperasi dan ajal menjemput karena kondisi jantung bawaan juga dipertanyakan.
Kejanggalan lain muncul saat kondisi bayi genting dan keluarga disarankan mencari ruang PICU di RS Urip Sumoharjo karena PICU RSUDAM penuh.
Keluarga pun harus mencari informasi ketersediaan PICU sendiri, yang seharusnya menjadi komunikasi antar-RS.
Meskipun alat bantu PICU tersedia di RS Urip Sumoharjo, waktu yang terbuang sia-sia membuat bayi Alesha meninggal dunia sebelum mendapatkan penanganan lebih lanjut.
Kesulitan berlanjut hingga saat bayi wafat, di mana keluarga kesulitan mencari ambulans karena tidak ada petugas jaga yang siaga.
“Katanya, BPJS kelas II nggak meng-cover ambulans, maka dikenakan biaya Rp1.500.000. Kami cari ambulans ternyata nggak ada petugas standby, sempat ‘nunggu dan akhirnya memutuskan pulang ke Kalianda tidak pakai ambulans” ujar Elda.
Menyikapi peristiwa tersebut, Kepala Ombudsman RI Perwakilan Provinsi Lampung Nur Rakhman menyampaikan sejumlah catatan penting.
Mulai dari transaksi pembelian alat kesehatan ke rekening pribadi, penempatan pasien tidak sesuai kelas BPJS, ketiadaan koordinasi dalam rujukan ke rumah sakit lain, dan biaya ambulans yang tidak sesuai ketentuan.
“Banyak catatannya, pembelian alkes ke rekening pribadi, penempatan kelas 2 ke kelas 3. Terus pengurusan ke RS Urip Sumoharjo oleh keluarga sendiri, dan ambulans yang biayanya sampai Rp1,5 juta,” kata dia.
Dengan temuan-temuan ini, Ombudsman RI Perwakilan Provinsi Lampung meminta kepada manajemen RSUDAM dan pihak terkait untuk melakukan investigasi menyeluruh.
Pihak rumah sakit diminta membentuk tim independen untuk menginvestigasi dugaan penjualan alat kesehatan oleh dokter, keterlambatan penanganan pasien, dan ketidaksesuaian prosedur pelayanan.
“Hasil investigasi harus transparan dan diumumkan kepada publik,” tegas Nur Rakhman.
Selain itu, Manajemen RSUDAM dinilai perlu memperkuat Satuan Pengawas Internal (SPI) untuk mencegah praktik serupa di masa depan, termasuk memastikan kepatuhan terhadap Permenkes No. 14 Tahun 2021 dan Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI), yang melarang dokter melakukan kegiatan usaha yang berpotensi memunculkan konflik kepentingan atau memanfaatkan profesinya untuk keuntungan pribadi.
“RSUDAM juga harus mengevaluasi dan menambah jumlah tenaga medis serta fasilitas, seperti ruang PICU, untuk memenuhi kebutuhan pasien, terutama dalam kondisi kritis,” tambah Nir Rakhman.
Ombudsman mendorong pihak RSUDAM berkoordinasi dengan BPJS Kesehatan, dan meninjau ulang kebijakan “ruangan tanpa kelas” agar sesuai dengan standar BPJS Kesehatan dan tidak merugikan hak pasien.
Kemudian, Ombudsman mendorong Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan Dinas Kesehatan Provinsi Lampung untuk memeriksa status keanggotaan serta tindakan oknum dokter yang diduga melanggar etika profesi.
“Jika terbukti, sanksi tegas harus diberikan sesuai hukum yang berlaku,” ujar Nur Rakhman.
Namun, hal terpenting menurut Nur Rakhman adalah pemenuhan hak keluarga pasien.
“RSUDAM harus memberikan klarifikasi resmi kepada keluarga pasien terkait kronologi perawatan dan dugaan penyimpangan, serta mempertimbangkan langkah mediasi untuk memenuhi hak keluarga atas penjelasan yang transparan,” kata dia.
Ombudsman RI Perwakilan Provinsi Lampung mengimbau manajemen RSUDAM untuk segera bertindak tegas dan berkoordinasi dengan pihak terkait demi mencegah peristiwa serupa.
Masyarakat juga didorong untuk melaporkan setiap indikasi maladministrasi melalui kanal resmi Ombudsman untuk ditindaklanjuti.
“Masyarakat dapat melaporkan melalui nomor WhatsApp pengaduan Ombudsman Lampung di 0811-9803-737,” ujar Nur Rakhman.
Ombudsman turut menyampaikan duka cita atas meninggalnya Alesha Erina Putri dan berharap kasus ini menjadi momentum perbaikan sistem pelayanan kesehatan di Provinsi Lampung. (***)