DOK
SMARTNEWS.ID – Jaring Kelola Ekosistem Lampung (JKEL) meminta pemerintah pusat dan daerah meninjau ulang dugaan alih kelola sekitar 70 persen zona pemanfaatan Taman Nasional Way Kambas (TNWK) kepada pihak asing. JKEL menilai proses perubahan zonasi berlangsung tanpa keterbukaan dan minim melibatkan organisasi lingkungan maupun masyarakat lokal.
“Kami menemukan indikasi kuat adanya perubahan zonasi yang tidak transparan. Mekanisme kerja sama yang disusun dapat menyerupai penguasaan ruang,” kata Ketua JKEL, Almuhery Ali Paksi, Jumat (12/12/2025).
JKEL mendesak Gubernur Lampung, Pemprov Lampung, dan Pemkab Lampung Timur melakukan kajian ulang serta audit independen terhadap seluruh dokumen kerja sama dan proses perubahan zonasi. Mereka juga meminta dugaan keterlibatan pimpinan balai sebelumnya turut diperiksa.
“Dari temuan lapangan, sekitar 70 persen lahan dalam zona pemanfaatan diduga telah dialihkan pengelolaannya kepada investor asing. Pola kerja sama seperti ini dikhawatirkan mengurangi ruang jelajah satwa liar dan mengganggu fungsi ekologis kawasan konservasi,” ujarnya.
Almuhery menambahkan, konsultasi publik terkait perubahan zonasi yang digelar Balai TNWK pada 2025 di Hotel Emersia, Bandarlampung tidak melibatkan NGO lingkungan dari Lampung, akademisi, media, maupun masyarakat sekitar. Menurutnya, keterlibatan publik diperlukan untuk memastikan perubahan zonasi tidak menimbulkan konflik sosial maupun penurunan kualitas ekosistem.
“Untuk itu, kami meminta Gubernur Lampung dan Sekdaprov Lampung melakukan kajian ulang terhadap perubahan zona pemanfaatan TNWK. Secara hukum, kawasan taman nasional adalah aset negara dan tidak dapat diperjualbelikan,” tegasnya.
Direktur Lembaga Konservasi 21 (LK21), Edy Karizal, menilai skema kerja sama pengelolaan perlu diawasi ketat agar tidak berubah menjadi bentuk pengambilalihan ruang konservasi.
“Kerja sama dengan pihak ketiga memang dimungkinkan, tetapi tidak boleh mengarah pada penguasaan ruang taman nasional. Jika benar mencapai 70 persen, itu alarm serius,” kata Edy.
Hingga berita ini diterbitkan, Balai TNWK belum memberikan keterangan resmi mengenai dugaan perubahan zonasi maupun alih kelola yang dipersoalkan. Upaya konfirmasi redaksi belum mendapat respons.
JKEL menyebut proses konsultasi publik perubahan zona pengelolaan TNWK hanya dihadiri sejumlah pejabat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Pemprov Lampung, Pemkab Lampung Timur, serta unsur Forkopimda, tanpa kehadiran organisasi lingkungan dari Lampung.
“Seharusnya kami diberi kesempatan memberikan masukan berbasis kajian demi memastikan fungsi kawasan tetap terjaga dengan prinsip co-management,” ujar Almuhery.
Ia menilai perubahan karakter ekosistem, termasuk pergeseran vegetasi dan akses masyarakat, harus menjadi pertimbangan utama sebelum zona diperbarui.
TNWK merupakan habitat penting bagi gajah sumatera, badak sumatera, harimau sumatera, dan satwa endemik lain. Setiap perubahan zonasi dinilai memiliki potensi mempengaruhi kelangsungan ekosistem.
“Konservasi bukan hanya menjaga satwa, tetapi juga ruang hidupnya. Perubahan zonasi tanpa kajian ekologis yang kuat dapat merusak integritas ekosistem Way Kambas,” kata Almuhery.
JKEL menegaskan temuan mereka berdasarkan pemantauan lapangan, analisis dokumen zonasi, dan wawancara dengan masyarakat. Mereka meminta pemerintah membuka seluruh dokumen rencana pemanfaatan ruang agar tidak terjadi simpang siur informasi.
“Kami mengingatkan negara untuk menjaga mandat perlindungan kawasan konservasi. Kepentingan investasi tidak boleh menggeser tujuan konservasi,” tutup Almuhery. (***)