Empat siswa SDN 1 Palapa yang berselisih paham saling berpelukan, usai didamaikan pihak sekolah, akhir bulan Oktober lalu (foto kiri). Lucunya, kini orangtua yang ikut-ikutan berselisih paham. Menyelesaikan persoalan antar-orangtua siswa, sekolah sudah lima kali melakukan mediasi, namun tetap tidak menemukan jalan keluar. ISTIMEWA
SMARTNEWS.ID – SDN 1 Palapa menyesalkan adanya pemberitaan oleh dua media online yang narasinya sama persis, mengatakan bahwa telah terjadi perundungan atau bully pada sekolah yang beralamat di Jenderal Ahmad Yani, Kecamatan Tanjungkarang Pusat, Kota Bandar Lampung, baru-baru ini.
Bahkan, narasi dibangun oleh media online yang bermarkas di Surabaya, Jawa Timur dan Batam, Kepulauan Riau, pada pemberitaan tersebut tidak ada konfirmasi atau usaha dari pihak media untuk menanyakan dugaan persoalan itu kepada pihak sekolah. Media itu hanya memuat nara sumber dari salah satu pihak saja.
“Kami sangat menyesalkan adanya pemberitaan dari dua media online yang isinya sama persis dan dimuat pada 30 Oktober 2022 lalu, mengatakan bahwa di sekolah kami ada peristiwa perundungan, padahal itu tidak benar,” ujar Kepala SDN 1 Palapa, Kusrina, M.Pd, Senin (21/11/2022).
Padahal, berdasar Kode Etik Jurnalistik dalam Pasal 1 disebutkan bahwa, wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk. Penafsiran berimbang berarti semua pihak mendapatkan kesempatan setara.
Menurut Kusrina, berita mengambil judul “Trauma dan Takut Dibuli.! Kepsek SDN 1 Palapa Tanjung Karang Tutup Mata” dan “Terkait Pembulian Anaknya, Orang Tua Siswa Kecewa ke Pihak Sekolah SDN 1 Palapa yang Tidak Ambil Tindakan” merupakan berita yang menyesatkan. Sebab, tidak ada konfirmasi dari kedua media itu, baik sebelum atau sesudah berita tersebut ditayangkan.
“Bagaimana media itu bisa menyimpulkan bahwa kepala SDN 1 Palapa tutup mata atau tidak ambil tindakan terkait dugaan bully di sekolah kalau media itu belum menanyakan kepada saya selaku sekolah mengenai ada atau tidaknya peristiwa yang dimaksud media itu. Dugaan saya itu hanya opini penulis,” katanya.
“Dalam Kode Etik Jurnalistik Pasal 3 disebutkan bawa wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah. Seharusnya pedoman itu yang dipakai,” sambungnya.
Ia mengatakan, peristiwa yang terjadi sebenarnya di SDN 1 Palapa pada Oktober lalu adalah terjadi keributan antar-orangtua siswa, disebabkan adanya kesalahpahaman antar-siswa. Atas peristiwa itu, ada salah satu orangtua yang tidak puas dan mengadukan hal tersebut ke media.
“Padahal antar-anak yang terjadi salah paham itu sudah tidak ada masalah. Bahkan mereka sudah berdamai dan bermain bersama. Saya sendiri yang menyaksikan, antar-anak sudah saling berpelukan. Tapi herannya keributan ini berlanjut kepada orangtua,” herannya.
Kusrina menceritakan, peristiwa salah paham antar-siswa bermula dari tertinggalnya penggaris milik KPA salah satu siswa kelas 5 pada Oktober lalu. Keesokan harinya, penggaris itu ditemukan dalam keadaan rusak. KPA keberatan atas rusaknya penggaris. Keberatannya itu disampaikan di hadapan siswa lain di kelas.
Mendengar KPA keberatan, siswa lain kemudian mengingatkan KPA untuk tidak berlebihan menyikapi persoalan tersebut. Namun KPA tidak terima, sehingga mencoba mengingatkan kembali rekannya tersebut. Akibat dari hal itu, kemudian antar-siswa saling mengata-ngatai.
“Awalnya seperti itu, bukan bully. Tapi persoalan itu sudah diselesaikan wali murid. Namun, nampaknya KPA mengadukan hal tersebut kepada kedua orangtuanya, sehingga orangtua KPA tidak terima dan terjadi kesalahpahaman antara orangtua KPA dan orangtua siswa lainnya.
Mendapati orangtua siswa ribut, pihak sekolah mencoba memfasilitasi antar-orangtua siswa tersebut untuk dapat menyelesaikan persoalan tersebut. Mediasi yang dilakukan hingga lima kali di sekolah, itu katanya, juga tidak membuahkan hasil.
“Orangtua KPA tetap tidak terima. Akhirnya sekolah mencari solusi dengan memisahkan KPA dengan tiga rekannya. KPA tetap di kelas 5C, sedangkan dua rekannya kami pindahkan ke kelas 5D dan satu siswa ke kelas 5A. Kami fikir itu solusi untuk meredakan persolan,” ujarnya.
Namun, sesalnya, solusi yang dilakukan sekolah ternyata tidak diterima oleh orangtua KPA. Karena tiga siswa yang telah dipindahkan tersebut, masih bermain bersama rekan-rekannya di kelas 5C atau kelas sebelumnya. “Namanya juga anak-anak bermain, bisa bermain dengan siapa saja,” katanya.
Mendapati KPA masih sering bertemu dengan tiga rekan siswa lain, kemudian orangtua KPA meminta pihak sekolah mengeluarkan tiga siswa lain tersebut ke sekolah lain. Namun, pihak sekolah tidak bisa menerima permintaan orangtua KPA dengan alasan bukan persoalan yang berat.
“Jadi sekarang yang ribut bukan lagi antar-siswa, tapi antar-orangtuanya. Kami pihak sekolah tidak bisa berbuat banyak karena sudah difasilitasi bahkan dicarikan solusi. Kalaupun ada pihak-pihak yang merasa tidak puas, kami tidak bisa memaksakan,” katanya.
Akibat tidak terselesaikan persoalan antar-orangtua tersebut, akhirnya orangtua KPA memindahkan KPA ke sekolah lain. “Akhir bulan Oktober lalu orangtua KPA meminta surat pindah katanya ingin memindahkan KPA ke sekolah lain, sudah kami berikan,” ujarnya.
“Namun saat ditanyakan oleh staf tata usaha kami bahwa akan pindah ke sekolah ke mana, orangtua KPA lalu menjawab hal itu bukan urusan sekolah. Bahkan orangtua siswa tersebut melalui staf saya mengancam bahwa wali kelas dan ketiga siswa itu, dapat keluarkannya dari sekolah ini,” tambahnya.
Meski KPA telah dipindahkan ke sekolah lain oleh orangtuanya, Kusrina berharap antar-orangtua yang berselisih paham dapat menyelesaikan persoalan tersebut secara baik-baik. “Saya berharap antar-orangtua itu dapat dibukakan pintu hati agar ke depan dapat saling berdamai,” tutup dia. (***)