Ruwa Jurai

Dinas Kehutanan Lampung Klarifikasi Dugaan Illegal Logging di Pesisir Barat


SMARTNEWS.ID – Dinas Kehutanan Provinsi Lampung menyatakan bahwa lokasi penebangan kayu yang ramai menjadi sorotan di Sahbardong, Kabupaten Pesisir Barat, berada di luar kawasan hutan berdasarkan penelusuran sementara. Menanggapi keresahan masyarakat, Komandan Kodim (Dandim) 0422/Lampung Barat, Letkol Inf Rizky Kurniawan, memerintahkan aparat teritorial untuk langsung menghentikan aktivitas pembalakan liar tersebut. Langkah ini diambil sebagai upaya mencegah bencana ekologis serupa di tempat lain.

Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Lampung, Yanyan Ruchyansyah, memberikan klarifikasi resmi terkait viralnya dugaan pembalakan liar di Sahbardong, Pesisir Barat. Berdasarkan hasil penelusuran sementara timnya, lokasi yang menjadi sorotan publik berada sekitar 2,8 kilometer dari batas maksimal kawasan hutan.

“Secara regulasi, penebangan pohon di atas lahan hak milik atau kepemilikan pribadi tidak memerlukan izin penebangan, sepanjang tidak berada di dalam kawasan hutan yang dilindungi,” jelas Yanyan dalam Dialog Lingkungan yang diselenggarakan Himpunan Mahasiswa Kehutanan Universitas Lampung (Hima Sylva), Sabtu, 13 Desember 2025.

Yanyan mengungkapkan, aktivitas penebangan diduga dilakukan oleh seseorang yang membeli lahan dari pihak yang mengaku sebagai pemilik. “Sampai saat ini, belum diketahui secara pasti siapa pemilik lahan tersebut,” ujarnya.

Di luar aspek regulasi, keresahan masyarakat terhadap potensi bencana mendorong respons cepat dari institusi lain. Letkol Inf Rizky Kurniawan, Dandim 0422/Lampung Barat, menyatakan bahwa aparat TNI sudah bergerak untuk menghentikan aktivitas tersebut.

“Ada mas. Danramil dan Babinsa sudah langsung saya perintahkan menghentikan Pembalakan Liar tsb pada kesempatan pertama. Karena masyarakat sudah sangat resah takut kejadian seperti bencana di tempat lain akibat hutan yang berubah fungsinya,” ujar Letkol Rizky, menegaskan komitmen pencegahan dini.

Meski ada kemungkinan legal secara administratif, baik Dinas Kehutanan maupun TNI sepakat mengambil langkah antisipatif. Dinas Kehutanan telah menghimbau penghentian sementara penebangan dan membuka pos pengaduan masyarakat.

Dialog yang mengangkat tema “Penegakan Hukum dalam Praktik Illegal Logging di Lampung untuk Mewujudkan Hutan Lestari dan Masyarakat Sejahtera” ini dihadiri oleh berbagai elemen, termasuk akademisi, praktisi lingkungan, media, dan mahasiswa.

Notulensi diskusi mengungkap latar belakang yang kompleks. Peserta diskusi menghubungkan isu ini dengan bencana ekologis di Sumatra Utara, konflik manusia-satwa liar di Taman Nasional Way Kambas dan Bukit Barisan Selatan, serta pertanyaan mendasar tentang batas legalitas dan efektivitas pengawasan negara.

Beberapa pokok pembahasan kritis mengemuka:

1. Fragmentasi Habitat: Penyempitan dan fragmentasi hutan ditekankan sebagai akar masalah, yang mempersempit ruang jelajah satwa dan meningkatkan risiko bencana.

2. Kesenjangan Data: Adanya perbedaan data antara pemerintah dan investigasi media mendorong mahasiswa untuk berpikir kritis dan tidak bergantung pada satu sumber.

3. Langkah Konkret vs. Imbauan: Meski Dinas Kehutanan menyoroti bencana besar di Sumatra, diskusi mencatat perlunya aksi konkret di lapangan. Respons TNI dengan menghentikan aktivitas secara langsung mendapat perhatian sebagai langkah operasional.

4. Penolakan Bencana sebagai Takdir: Mahasiswa menolak anggapan bencana sebagai takdir semata. Kritik yang dilontarkan merupakan panggilan untuk perubahan dan bentuk komitmen terlibat langsung.

5. Kelambanan Respons: Diskusi menyoroti pentingnya respons cepat terhadap kerusakan hutan yang telah viral, mengapresiasi langkah TNI, dan mendorong keterlibatan semua pihak.

Aktivis lingkungan Almuhery Ali Al Paksi dalam diskusi itu mengajak seluruh masyarakat berperan aktif. “Mari bersama-sama berkontribusi menjaga lingkungan alam, sekaligus membuktikan apakah penebangan tersebut benar dilakukan di lahan pribadi atau tidak,” ajaknya.

Dialog ditutup dengan pernyataan sikap bersama yang tegas. Peserta diskusi menilai bahwa rangkaian bencana ekologis, konflik satwa-manusia, dan dugaan illegal logging adalah dampak nyata dari penyempitan kawasan hutan, fragmentasi habitat, dan lemahnya pengelolaan daerah aliran sungai (DAS).

“Kami menegaskan bahwa bencana bukan takdir, melainkan akibat kelalaian manusia dalam menjaga hutan,” bunyi pernyataan sikap tersebut.

Mereka menuntut transparansi atas setiap perubahan luasan kawasan hutan, penegakan hukum yang menyasar hingga ke aktor intelektual yang diuntungkan, serta keterlibatan aktif mahasiswa dan publik dalam pengawasan kebijakan kehutanan. Tujuannya jelas: mewujudkan hutan lestari dan masyarakat sejahtera, mengatasi persoalan yang telah menjadi isu nasional menyangkut keselamatan manusia dan keberlanjutan ekosistem. (***)

Tags

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Close
Close