Opini

Kompensasi Pemotongan Jabatan Gubernur Dalam Pilkada

Oleh Dr. (Cand) Wendy Melfa
Direktur Badan Saksi Nasional PG Wilayah Lampung
Dewan Pakar PMW KAHMI Lampung

 

PEMOTONGAN JABATAN

 

Hukum dan politik adalah dua variabel yang saling mempengaruhi, dan diterminasi dimasyakat kedua variabel itu mempunyai derajat determinasinya yang seimbang. Hukum merupakan produk proses politik (dimaknai per-UU-an sebagai produk lembaga negara), dan ketika wujud hukum telah hadir sebagai hukum positif (ius constitutum) maka semua aktivitas politik harus tunduk pada hukum yang berlaku (makna legalitas dan kepastian hukum), itulah konsekuensi negara hukum.

Begitu juga halnya pada bidang pengaturan Gubernur dan juga Kepala Daerah lainnya, mekanisme ketatanegaraannya mengikuti ketentuan UU 10/2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Hal yang menarik untuk diperhatikan adalah menghadapi agenda pemilihan serentak 2024 untuk memilih Gubernur, Bupati, dan Walikota secara nasional, untuk itu ada konsekuensi tertentu yang ditimbulkan baik bagi Kepala Daerah hasil pemilihan 2018 dan 2020, masa jabatan mereka dipotong tidak sampai genap 5 tahun dan akan mengakhiri jabatannya di tahun 2023 bagi Kepala Daerah hasil pilkada 2018, dan tahun 2024 bagi Kepala Daerah hasil pilkada 2020, hal ini konsekuensi dari ketentuan Pasal 201 UU 10/2016, dan untuk hal tersebut seluruh kepala daerah yang mengikuti kontestasi Pilkada 2018 dan 2020 sudah mengetahui bahwa masa jabatannya tidak akan dijalani secara penuh dalam satu periode 5 tahun.

Pemotongan jabatan Gubernur dan Kepala Daerah lainnya ini bersifat transisional atau sementara dan sekali terjadi (einmalig) dalam menghadapi agenda nasional pemilihan Kepala Daerah serentak 2024, yang diharapkan berikutnya terdapat keserentakan periode jabatan semua Kepala Daerah baik memulainya maupun kelak akhir masa jabatan Kepala Daerah dari semua tingkatan serentak secara nasional seluruh Indonesia, sebuah konsekuensi dari agenda nasional dalam penataan kelembagaan dan ketata negara pemerintahan daerah sebagai bagian dari pemerintahan secara nasional.

Pemotongan jabatan Gubernur dan Kepala Daerah lainnya ini, merupakan hak politik yang dapat dikurangi (derogable right) yang bermakna hak tersebut dapat dikurangi dan dibatasi pemenuhannya oleh Negara dengan menggunakan alasan UU berdasarkan alasan-alasan sebagaimana diatur dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, dalam hal ini Konstitusi kita memberikan hak untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan kepada seluruh rakyat. Untuk itu pemotongan jabatan Gubernur dan Kepala Daerah lainnya dimaksudkan untuk memenuhi kebijakan pemilihan serentak nasional 2024 untuk mengisi jabatan Gubernur, Bupati, dan Walikota secara nasional.

 

KOMPENSASI PEMOTONGAN

Pemotongan masa jabatan Gubernur dan Kepala Daerah lainnya, tidak memperlakukan warga negara secara diskriminatif atas penerapan kebijakan ini, karena kebijakan pemotongan ini tidak ditujukan hanya pada 1 – 2 Gubernur dan Kepala Daerah lainnya saja, tetapi kebijakan transisional ini berlaku secara menyeluruh kepada semua Gubernur dan Kepala Daerah lainnya. Penerapan kebijakan transisional ini juga tidak akan menimbulkan kerugian material yang merupakan hak yang ditimbulkan dari jabatan Gubernur, dan Kepala Daerah lainnya yang terdampak dari penerapan kebijakan ini.

Negara dalam hal ini pemerintah pusat telah mengantisipasi adanya kerugian material dari Gubernur, dan Kepala Daerah lainnya sebagai pihak yang terkena dampak pemotongan masa jabatan sebagai akibat menjalankan kebijakan nasional berdasarkan UU ini dengan memberikan kompensasi berupa uang sebesar gaji pokok dikalikan jumlah bulan yang tersisa serta mendapatkan hak pensiun untuk satu periode jabatan secara penuh, sebagaimana dimaklumi seluruh Kepala Daerah selaku pejabat negara mendapatkan uang pensiun. Pemberian kompensasi kepada Gubernur, dan Kepala Daerah ini merupakan bentuk perlindungan hukum bagi pihak yang terkena dampak kebijakan ini yang landasannya pada UU Pilkada.

Ketaatan melaksanakan hukum dengan kepahaman untuk dan alasan apa hukum di-result dari rangkaian proses politik merupakan bentuk kedewasaan sekaligus kecerdasan politik sebagai konsekuensi dua variabel yang determinannya saling mempengaruhi. Kementerian Dalam Negeri sebagai “eksekutor” dalam menjalankan kebijakan inipun karena kepatuhannya menjalankan hukum dan peraturan per-UU-an, bila dirasa ada ketidak adilan dengan adanya kebijakan ini, atau kurang memberikan perlindungan terhadap kepentingan daerah yang belum terakomodir, maka mekanisme hukumlah yang dapat digunakan untuk “memberi masukan” terhadap ketentuan hukum yang dijadikan landasan kebijakan pemotongan jabatan Gubernur, dan Kepala Daerah lainnya. (**/Wendy)

Tags

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Check Also

Close
Close
Close