Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan, Astera Primanto Bhakti. DOK
SMARTNEWS.ID – Pada 3 September 2022, pemerintah pusat mengumumkan kenaikan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Hal ini berimplikasi pada perekonomian nasional. Salah satunya peningkatan inflasi yang berdampak pada daya beli masyarakat.
Penanganan dampak inflasi kali ini didukung oleh pemerintah daerah dengan adanya penganggaran belanja perlindungan sosial dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Tahun Anggaran 2022.
“Pemerintah juga memberikan bantalan yang dilakukan oleh daerah, melalui earmarking Dana Transfer Umum (Dana Alokasi Umum dan Dana Bagi Hasil). Pemda ini diberikan kewenangan untuk membuat program sehingga dampak dari inflasi tidak dirasakan secara langsung oleh
masyarakat, dan tentunya ini juga menggunakan data-data yang telah teruji sebelumnya” jelas Astera Primanto Bhakti, Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan, dalam rillis yang diterima media, Kamis (8/9/2022).
Hal ini sejalan dengan arahan Presiden Joko Widodo ketika pengumuman kenaikan BBM bersubsidi tersebut bahwa uang negara harus diprioritaskan
untuk melindungi masyarakat kurang mampu dan pemerintah berkomitmen agar penggunaan subsidi yang merupakan uang rakyat harus tepat sasaran.
Implementasi kebijakan dimaksud diwujudkan dengan terbitnya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 134/PMK.07/2022. Dengan adanya PMK ini, maka Pemda berkontribusi memberikan dukungannya berupa penganggaran belanja wajib perlindungan sosial untuk periode Oktober sampai dengan Desember 2022 sebesar 2 persen dari Dana Transfer Umum (DTU) di luar Dana Bagi Hasil (DBH) yang ditentukan penggunaannya.
Adapun belanja wajib perlindungan sosial ini dipergunakan untuk, antara lain, pemberian bantuan sosial termasuk kepada ojek, UMKM, dan nelayan, penciptaan lapangan kerja, dan/atau pemberian subsidi sektor transportasi angkutan umum di daerah.
Besaran DTU yang dihitung sebesar penyaluran DAU pada Oktober hingga Desember 2022 dan penyaluran DBH triwulan IV Tahun Anggaran 2022. Belanja wajib perlindungan sosial tidak termasuk belanja wajib 25 persen dari DTU yang telah dianggarkan pada APBD Tahun Anggaran 2022.
Penganggaran belanja wajib perlindungan sosial dilakukan dengan perubahan Peraturan Kepala
Daerah mengenai penjabaran APBD Tahun Anggaran 2022 untuk selanjutnya dituangkan dalam peraturan daerah mengenai Perubahan APBD Tahun Anggaran 2022 atau laporan realisasi anggaran bagi daerah yang tidak melakukan Perubahan APBD Tahun Anggaran 2022 atau telah melakukan Perubahan APBD Tahun Anggaran 2022.
Daerah wajib menyampaikan laporan yang sekaligus menjadi persyaratan penyaluran DAU dan DBH PPh Pasal 25/29 (bagi daerah yang tidak mendapatkan alokasi (DAU) kepada Menteri Keuangan melalui Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan dengan tembusan kepada Menteri Dalam Negeri melalui Direktur Jenderal Bina Keuangan Daerah.
Hal tersebut terdiri dari laporan penganggaran belanja wajib, paling lambat pada tanggal 15 September 2022, laporan realisasi belanja wajib, setiap tanggal 15 pada bulan berikutnya, dan laporan disampaikan dalam bentuk PDF melalui email resmi DJPK.
Adapun ketentuan penyampaian laporan dimaksud, diatur dalam laporan penganggaran dokumen persyaratan penyaluran DAU bulan Oktober 2022 atau penyaluran DBH PPh Pasal 25/29 triwulan III bagi daerah yang tidak mendapatkan alokasi DAU.
Kemudian laporan realisasi menjadi dokumen persyaratan penyaluran DAU bulan berikutnya atau penyaluran DBH PPh Pasal 25/29 triwulan IV bagi daerah yang tidak mendapatkan alokasi DAU, serta terhadap daerah yang mengalami penundaan penyaluran DAU atau DBH sebagaimana dimaksud pada butir 1 dan 2, disalurkan setelah dokumen persyaratan disampaikan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Hal ini hingga 15 Desember tahun berjalan dokumen persyaratan penyaluran belum diterima, penyaluran kembali DTU yang belum disalurkan dilaksanakan secara sekaligus sebesar DTU yang belum disalurkan paling lambat dua hari kerja terakhir di bulan Desember tahun berjalan.
Dengan adanya sinergi penanganan untuk perlindungan sosial antara pusat dan daerah, masyarakat yang terdampak akibat inflasi di bidang energi dapat terbantu serta uang negara dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat yang membutuhkan.
Efektivitas atas pelaksanaan bantuan sosial juga sangat diperlukan. Untuk itu, pengelolaan dan pemantauan atas pelaksanaan belanja wajib dilaksanakan oleh kepala daerah dan juga diawasi pelaporannya oleh aparat pengawas internal pemerintah daerah. (***)