Awal 1990, Bambang kembali diajak Surya ke Media Indonesia yang baru diakuisisi dari pemilik lama, Teuku Youslisyah. Lagi-lagi BEW didapuk sebagai redaktur khusus.
Berlabuh di Lampung
Akhirnya, sejak 1 Juni 1993, takdir membawa BEW ke Lampung, menjadi pemimpin umum/pemimpin redaksi Harian Lampung Post, sampai akhir hayat. Menyatu dengan Lampung.
Pada 1998, Buras dirilis. Sebelumnya, tulisan BEW berat isinya walau ditulis mengalir. Laporan Bank Indonesia 8 halaman seukuran koran, angka semua, ditulis sangat lincah. Artikel satu halaman tersebut dimulai dari filsuf Cicero melihat kemiskinan. Itu tulisan pertama BEW yang kukenal dan saya langsung kesengsem: nih orang jago banget sih.
Buras lalu mengalir tiap hari dari ujung penanya. Idenya menggelegak. “Buras itu omong kosong di lapak tuak, Her. Macam koyo-koyo (bualan) gitulah,” ujarnya.
Jelas ini ungkapan merendah. Tulisan yang baik memang menerjemahkan keruwetan jadi seenteng kapas. Bukan cuma ringan, tapi jenaka juga. Kelas advance: bagaimana ide tidak membebani gaya, tapi gaya tidak menyebal dari ide. Level empu yang mampu sesungguhnya.
Kalau mati angin, saya sering dipanggil ke ruangan kerja Beliau. Bergurau berdua. Sama-sama semau-maunya. Saling lepas kelakar.
Sekitar 20 tahun lalu, saya membuat rumah pertama, saya tempati sampai sekarang. Rumah satu-satunya milikku malah. Sampailah info itu ke telinganya. Saya disapa. “Her, kau buat rumah bagus ya?”
Iya, Pak, 1 M. “Oya, banyak duit kau ya.” Jelas dong, Pak. Rumah saya satu m, kalau 2 m ya namanya rummah, jika 3 m tentu saja rummmah….
Lebih dua menit Beliau terbahak. Kalau sudah begitu, pasti besok jadi Buras. Pasti. Berkali-kali itu terjadi.
Hari berganti minggu, minggu melipat jadi bulan, bulan bergulung menjadi tahun. Buras beribu-ribu pun lalu mbrojol.
Kendati lucu, Buras tampil prima. Cengengesan ala BEW ini sejatinya tulisan prima; dihasilkan dari pergulatan pemikiran beragam. Aktualitas, lalu sering ditautkannya dengan analogi.
BEW menuangkan semuanya secara berkelas. Pak Bambang memang memelihara ketertarikan pada banyak bidang.
Dia akrab dengan teori-teori besar, dengan grand naratives. Tapi juga cinta detil. Almarhum senantiasa menghadirkan butir-butir pemikirannya. Komprehensif, stylish. Tapi kita tak merasa sedang digurui. Kita larut menikmati. We not reading, we relaxing.
Kepergian Beliau menoreh begitu dalam, ya kenangan, ya nilai-nilai, atau juga gaya yang diwariskan. Juga, kerendahan hati seluas samudera. Gesture Almarhum yang ngawulo sering membuat lawan bicaranya kikuk, apalagi kami anak buahnya.
Semua emosi yang bergulat bertahun-tahun selama interaksi dengan Almarhum, membuncah seharian kemarin. Kemana kami setelah Beliau tiada. Bagaimana Beliau membimbing kami lagi.
Saya kemudian teringat proses kita saat ke “naik langit” suatu hari nanti, dari buku Dr Hameroff, “Through the Wormhole, Channel Science): Katakanlah jantung berhenti berdetak, darah berhenti mengalir, mikrotubulus kehilangan status kuantumnya.
Informasi kuantum dalam mikrotubulus tidak dihancurkan, tidak bisa dihancurkan-hanya mendistribusi, menghilang ke alam semesta secara luas. Saya memandang lama jasad Beliau di rumah duka.
Seperti bercerita transfer ilmu dan pengalaman di antara kami selama ini. Tak sanggup lama. Dadaku berguncang hebat. Air mata menderas.
Memang, dalam proses alam, ketika kematian menjemput, secara gradual raga kita terurai kembali: dari individu dan jasad yang utuh, organ, jaringan, sel, molekul, atom, ke zarah subatom. Kulit, otot, dan tulang. Semua terurai menjadi tak kasat mata, menjadi fosfor, fosfat, natrium, kalsium-hidrogen, serta sulfur yang menyuburkan alam sekitar. Dan zat yang telah menjelma menjadi milyaran atom ini kemudian melayang di udara—lalu dihirup lagi oleh segala yang hidup…
Hal baik berbuah baik. Niat mulia mendatangkan kemuliaan. Tuhan menciptakan dan menjaga alam fana ini dengan hukum fisika yang amat sempurna. Sampai kelak kita dipertemukan lagi di keabadian akhirat. Di sana Insya Allah kita akan dipertemukan lagi, Bapakku. (***)